Rabu, 20 Oktober 2010

Konsep Uang Dalam Islam (Terakhir)

Wednesday, 14 November 2001
Tulisan Oleh : Euis Amalia, Mag

Sumber : Jurnal Ekonomi Islam Muamalatuna Vol. 1/Th. 1/25 Mei 2000

Ibnu Taimiyyah dalam bahasannya tentang asal usul dan fungsi uang menyatakan : Atsman (singular tsaman yaitu harga sesuatu atau sesuatu yang dibayarkan sebagai pengganti harga, misalnya uang) dimaksudkan untuk alat ukur dari nilai suatu benda. Melalui uang itu, sejumlah benda diketahui nilainya dan mereka tidak bermaksud menggunakannya untuk diri sendiri. Ibnu al Qayyim (murid Ibnu Taimiyyah) menyatakan fakta yang sama dengan lebih jelas : “uang dan keping uang tidak dimaksudkan untuk benda itu sendiri, tetapi dimaksudkan untuk digunakan dalam memperoleh barang-barang”. Sejak Ibnu Taimiyyah mempertimbangkan fungsi utama uang sebagai alat tukar, ia menentang perdagangan uang. Sebab hal itu berarti mengalihkan fungsi uang dari tujuan sebenarnya.

Dalam pandangan syariah, uang bukanlah suatu komoditi, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomi (economic added value). Hal ini bertentangan dengan perbankan berbasis bunga, uang mengembangkanbiakkan uang, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan ekonomi dasar, secara langsung melalui transaksi seperti perdagangan, industri, sewa menyewa dan lain-lain atau secara tidak langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut.

Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar. Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter, barang saling dipertukarkan. Hal ini dapat dijumpai dalam hadist-hadist seperti yang diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, Abu Said Al Khudri.

“Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistem barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Nampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti itu karena ada unsur riba didalamnya”.

Dalam konsep Islam tidak dikenal istilah money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam justru menjadikan harta sebagai objek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal (dibiarkan tidak produktif dilarang, karena itu mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat). Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept sehingga harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar akan semakin banyak transaksi yang terjadi. Pada gilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat dan semakin cepat mendorong pertumbuhan ekonomi. Bagi mereka yang tidak memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi hasil.

Islam juga tidak mengenal konsep time value of money, karena konsep ini melihat bahwa dengan berlalunya unsur waktu, uang akan bertambah walaupun tanpa melakukan apa-apa terhadap uang tersebut. Pemilik uang akan memperoleh suku bunga karena selama penantiannya dalam jangka waktu tertentu, uang yang dimilikinya saat ini kan bertambah di kemudian hari. Sebaliknya Islam mengenal konsep money value of time atau economic value of time yang artinya bahwa waktu memiliki uang atau nilai ekonomi. Dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk bekerja dan berusaha akan menghasilkan pendapatan yang dapat dinilai dengan uang. Bila waktu terus digunakan untuk memutar uang dalam kegiatan usaha tentunya akan memberikan tambahan pada uang yang dimiliki. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi daripada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bi Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah SAW adalah orang pertama yang menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deffered payment) lebih tinggi daripada harga tunai atau kas.

Yang menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh lebih tinggi, sama sekali bukan disebabkan time value of money. Namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan disini bahwa barang yang dapat dijual tunai dengan untung Rp 1.000 maka penjual dapat membeli lagi serta menjualnya sehingga dalam satu hari keuntungannya adalah Rp 2.000. sedang bila dijual dengan harga tangguh bayar maka hak si penjual menjadi tertahan sehingga ia tidak dapat membeli atau menjual kembali. Akibatnya hak dari keluarga si penjual untuk memenuhi kebutuhannya tertahan oleh si pembeli. Untuk alasan ini yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang) maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai.

Dalam ekonomi Islam telah dibedakan money dan capital. Dalam konteks Islam, money adalah flow concept sedangkan capital adalah stock concept. Dengan kata lain, semakin cepat money berputar dalam perekonomian maka semakin tinggi tingkat income. Dalam konsep Islam money adalah public goods sedangkan capital adalah private goods. Money adalah milik masyarakat dan oleh karenanya penimbunan uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang yang beredar. Bila diibaratkan dengan darah maka perekonomian akan kekurangan darah alias kelesuan ekonomi. Larangan menimbun uang tertera dalam firman Allah : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yan g pedih” (QS : At-Taubah:34).

Ketika Islam melarang praktek penimbunan harta atau kanzul mal, Islam hanya mengkhususkan larangan tersebut untuk emas dan perak padahal harta itu mencakup semua yang bisa dijadikan kekayaan, kurma, uang adalah mal. Sementara kanzul mal hanya tampak pada uang saja, bukan pada barang dan jasa. Sedangkan yang dikehendaki ayat tersebut adalah larangan menimbun uang sebab uang adalah alat tukar umum, dan karena menimbun uang itulah, maka lahirlah larangan tersebut. Adapun mengumpulkan selain uang itu tidak disebut sebagai kanzul mal melainkan ihtikar. Oleh karena itu ayat yang melarang menimbun emas dan perak sesungguhnya merupakan larangan menimbun uang. Menurut Ibnu Katsir, kanzul mal berkaitan dengan harta yang tidak dikeluarkan zakatnya, sedangkan harta yang dikeluarkan zakatnya meskipun disimpan tidak termasuk kanzul mal.

Zakat dikeluarkan atas harta yang telah mencapai nisab, dan untuk dapat menunaikannya, harta harus diproduktifkan sehingga zakat dikeluarkan dari profit yang dihasilkan bukan dari pokok harta yang disimpan. Menurut Mannan, zakat sebagai hukuman yang tidak dapat ditawar bagi penimbun harta. Batas minimal zakat memiliki arti penting yang sangat besar untuk mendorong investasi yang produktif dari setiap bagian harta. Islam telah menunjukkan cara untuk memproduktifkan harta seseorang dengan berbagai pilihan bekerjasama dengan pemilik modal lain dalam suatu usaha (musyarakah) atau bermitra dengan seseorang yang dipercaya dari segi entrepreneurship dan kejujurannya untuk berbagi hasil (mudharabah). Sistem bunga yang selama ini banyak menjadi pilihan masyarakat terutama yang didorong oleh motif spekulasi sama sekali tidak mendapat tempat dalam sistem perekonomian Islam.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=220 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar