Rabu, 20 Oktober 2010

Mengenal Lebih Jauh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

Wednesday, 31 October 2001
Tulisan Oleh : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA

Sumber : Jurnal Ekonomi Islam MUAMALATUNA Vol. I/Edisi I/Th. I/25 Mei 2001

Catatan : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA adalah dekan Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, anggota Dewan Pengawas Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Dewan Pengawas Syariah MAA Asuransi Jiwa.

Mukadimah

Syariah adalah salah satu hukum yang diperkenalkan al Quran lebih dari 14 abad yang lalu. Kata ini, dalam al Quran terulang sebanyak lima kali dalam 5 ayat dan 4 surat. Syariah yang secara harfiah berarti air atau jalan menuju palung air (Abdurrahman I. Doy, 1412 H/1992 M hal. 2), ialah sesuatu yang ditampakkan Allah SWT untuk hamba-Nya dalam bentuk hukum-hukum (Muhammad Rawas Qal ah-ji, 1416 H/1996 M, hal. 231). Atau seperti yang dirumuskan Mahmud Saltut, syariat ialah aturan-aturan (hukum) yang ditentukan oleh Allah atau ditetapkan dasar-dasarnya untuk dijadikan pedoman oleh umat manusia dalam berhubungan dengan Allah maupun sesama manusia baik yang seagama maupun tidak (Mahmud Saltut 1412 H/1996 M).

Dalam percaturan politik hukum Indonesia, kata syariah baru mengedepan pada tahun 1945, tepatnya ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menawarkan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) sebagai Dasar Negara Republik Indonesia yang didalamnya antara lain terdapat anak kalimat : “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya...” (naskah Piagam Jakarta). Sayangnya anak kalimat yang sangat Islami ini karena reaksi seseorang yang sesungguhnya tidak jelas sumbernya, harus dihapus dari Piagam Jakarta kemudian menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 itu.

Pada tahun 1955, kata syariat Islam kembali menggema di gedung parlemen (konstituante) ketika terdapat pro dan kontra yang mengundang perdebatan sengit tentang kemungkinan pengembalian Piagam Jakarta sebagai dasar negara.

Hasilnya, untuk kedua kalinya kata syariat terpental dari konstitusi karena Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang pada intinya mencabut UUDS 1950 dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Meskipun dalam Dekrit Presiden itu ada semacam hiburan bagi umat Islam Indonesia kala itu, karena dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, tetapi dalam kenyataannya praktek kesyariatan di Indonesia bisa dikatakan sama sekali tidak berjalan.

Presiden Soekarno pada saat itu menyatakan bahwa pada masa itu kata syariah menjadi bulan-bulanan bagi oknum-oknum pejabat tertentu yang seakan-akan ada unsur kesengajaan untuk pada satu sisi, mendiskreditkan negatifisme kata syariat dan pada sisi lain memojokkan orang-orang yang berhasrat mengamalkan syariat. Karenanya, tidaklah mengherankan jika banyak tokoh-tokoh Islam yang merasa menyesal atas persetujuannya menghapuskan tujuh anak kalimat di atas, maupun kecewa dengan sikap dan kebijaksanaan pemerintah tentang penganaktirian syariat Islam pada saat itu. Sesungguhnya tidak segegap gempita dasawarsa 50-an, kata syariah kembali berkumandang di Gedung Parlemen Senayan, saat Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia menggelar Sidang Istimewa satu tahun lalu. Namun, lagi-lagi keinginan untuk menjelmakan syariat secara utuh dan menyeluruh itu menjadi kandas karena hanya didukung oleh dua fraksi.

Sungguhpun secara konstitusi kata syariat masih tetap sulit untuk mendapatkan pengakuan formal, tapi semangat untuk mengamalkan hukum-hukum syariat Islam tetap melekat di dada para pemeluknya. Diantara indikatornya adalah pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang perihal sejarah ringkas serta tugas dan kedudukannya hendak diuraikan dalam makalah ini.

Latar Belakang dan Dasar Pemikiran DSN

Dewan Syariah Nasional (DSN), didirikan pada tahun 1999 berdasarkan surat keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kp-754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999, yang ditandatangani oleh KH Ali Yafie dan Drs. H. Nazri Adlani masing-masing selaku ketua umum dan sekretaris umum MUI. Pada bagian konsideran surat keputusan tersebut, antara lain dinyatakan bahwa di antara hal yang melatarbelakangi pembentukan DSN ialah dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

Pendirian DSN ini tentu saja tidak secara tiba-tiba dan terburu-buru, akan tetapi setelah lebih dahulu dilaksanakan beberapa kali pertemuan yang dilakukan oleh MUI. Antara lain keputusan Lokakarya Ulama pada tanggal 29-31 Juli 1997 di Jakarta, dan hasil rapat tim pembentukan DSN tanggal 14 Oktober 1997. pengurus DSN yang dilantik oleh Menteri Agama RI (Prof. Malik Fadjar MSc) pada bulan Ramadhan 1421 H di Hotel Indonesia Jakarta Pusat, terdiri atas DSN yang beranggotakan 16 orang waktu itu diketuai oleh Prof. KH Ali Yafie denan Drs. HA. Nazri Adlani. Sedangkan ketua pelaksana dan sekretaris harian, masing-masing dijabat oleh KH Makruf Amin dan Drs. H.M. Ichwan Sam (SK MUI nomor Kep. 754/MUI/II/1999). Dan karena ketua dan sekretaris DSN secara ex officio dijabat oleh ketua MUI, maka ketua dan sekretaris DSN sekarang masing-masing adalah KH Sahal Mahfud dan Prof. Din Syamsudin.

Ada beberapa hal yang dijadikan dasar pemikiran para pendiri DSN, yang terpenting adalah bahwa seiring dengan perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air yang didalamnya terdapat dewan-dewan pengawas syariah, dipandang perlu membentuk dewan syariah yang bersifat nasional. Selain diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan keuangan dan perekonomian yang produktif, operasionalisasi dan penyelesaiannya memerlukan keterlibatan hukum syariat, juga diharapkan ada semacam kesamaan visi dan misi diantara sesama dewan pengawas syariah itu sendiri. Perlunya koordinasi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang kehidupan ekonomi dan keuangan, juga merupakan dasar pemikiran lain yang melatarbelakangi pendirian DSN.

Tugas Dan Wewenang DSN

Paling sedikit ada empat hal yang menjadi tugas pokok DSN, yaitu:
1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan
3. Mengeluarkakan fatwa atas produk keuangan syariah
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan

Adapun wewenang yang diberikan MUI kepada DSN adalah :
- Mengeluarkan fatwa yang bersifat mengikat dewan pengawas syariah pada masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
- Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang seperti Departemen Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Bank Indonesia
- Memberikan rekomendasi dan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai dewan pengawas syariah pada suatu lembaga keuangan syariah
- Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri
- Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN
- Mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan (Lampiran II SK MUI No. Kep. 754/II/1999).

Meskipun secara internal maupun eksternal dewan syariah masih mengalami beberapa kendala, namun lembaga ini tampak tetap melaksanakan tugas pokoknya. Hingga dewasa ini, tidak kurang dari 16 fatwa telah dihasilkan oleh DSN.

Perlu diingat, bahwa disamping DSN ada yang disebut dengan Badan Pelaksana Harian DSN dan Dewan Pengawas Syariah. DSN adalah dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah, sedangkan badan pelaksana DSN adalah badan yang sehari-hari melaksanakan tugas DSN. Adapun dewan pengawas syariah adalah badan di lembaga-lembaga keuangan syariah yang bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga-lembaga keuangan syariah.

Yang dimaksud dengan lembaga keuangan syariah adalah lembaga keuangan yang mengeluarkan produk keuangan berdasarkan sistem syariah dan yang mendapat izin operasional sebaga lembaga keuangan syariah. Adapun yang dimaksud dengan produk keuangan syariah ialah produk keuangan yang mengikuti sistem hukum syariat Islam.

Lembaga keuangan yang secara formal beroperasi menurut sistem hukum syariat, di Indonesia dewasa ini masih relatif terbatas yakni baru pada bidang-bidang perbankan, perasuransian, reksadana, dan BMT. Dalam perbankan relatif masih sedikit bank-bank membuka divisi/unit syariah. Selain Bank Muamalat Indonesia (BMI), tercatat nama-nama Bank Mandiri, Bank IFI, Bank BNI, (Bank Jabar, Bank BRI, red.) dan BPR syariah lainnya.

Dalam bidang asuransi, tercatat PT Asuransi Takaful Indonesia dan Divisi Syariah pada MAA asuransi jiwa. Sedangkan BMT, tersebar disejumlah wilayah/daerah terutama kota-kota besar semacam Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan lain-lain.

Setiap lembaga keuangan syariah di atas, dalam melaksanakan produk-produk keuangannya perlu mendapatkan nasehat dan pengawasan dari dewan syariah seperti yang telah dikemukakan di atas.

Penutup

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa DSN memiliki kedudukan yang sangat penting bagi pengembangan perekonomian Indonesia dan keuangan Islam di Indonesia, dan sekaligus dalam pengawasannya apakah lembaga-lembaga perekonomian dan keuangan yang mendapatkan izin DSN benar-benar beroperasi sesuai dengan sistem hukum syariah atau tidak. Demikian informasi sekilas tentang DSN. Semoga bermanfaat.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=210 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar