Rabu, 20 Oktober 2010

Pengembangan Perbankan Syariah Berbasis Mutu (1)

Tuesday, 23 April 2002
Tulisan Oleh : A. Muid Badrun (Mahasiswa FE UGM, Anggota Syariah Economics Forum UGM)

Ada sesuatu yang menjadi persoalan mendasar ketika saya mengikuti Simposium Nasional I Ekonomi Islami, yang diadakan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, di Hotel Sahid Raya Yogyakarta, 13-14 Maret lalu, yaitu masih lemahnya pemahaman masyarakat umum terhadap eksistensi produk-produk yang ditawarkan oleh perbankan syari'ah.

Hal ini tidak bisa dipungkiri, mengingat selama kurang lebih 10 tahun beroperasi, perbankan syari'ah masih dianggap sebagai "bank eksklusif" oleh banyak orang. Bahkan tidak jarang, sentimen negatif "polarisasi antaragama" di dunia Barat, menjadi salah satu pemicu mengapa orang enggan berhubungan dengan perbankan syari'ah. Efek negatif inilah yang sampai sekarang menular dan menjadi ancaman serius bagi kelanjutan pengembangan perbankan syari'ah di Indonesia.

Disadari atau tidak, selama ini perbankan syariah sedang mencari bentuk ideal, baik bagi deposan, kreditur (Bank Syari'ah) maupun debitur. Kondisi ini semestinya mendapat dukungan sungguh-sungguh semua pihak, terutama umat Islam mayoritas di Indonesia, untuk tetap menjaga agar kontaminasi efek "polarisasi antaragama" yang semakin hari semakin meruncing tidak berakibat buruk bagi kelangsungan hidup Bank Syari'ah itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan upaya radikalisasi pada ranah perbaikan mutu (quality improvement needs) di semua sisi manajemen dan operasionalisasi perbankan syari'ah. Di sinilah peran Public Relation (PR) dari perbankan syari'ah dibutuhkan. Sehingga muncul pemahaman yang benar tentang perbankan syari'ah.

Target yang ingin dicapai dari pengembangan berbasis mutu adalah mampu membentuk perbankan syari'ah-sebagai entitas bisnis jasa keuangan alernatif-yang kuat, terpercaya, feasible, dan bisa dinikmati oleh masyarakat secara umum (inklusif). Hal ini sejalan dengan konsep STAF, Siddiq(benar), Tabligh (mampu menyampaikan), Amanah (terpercaya), Fathonah (cerdas) dan kreatif dalam menyelesaikan persoalan-di perbankan syari'ah.

Kebutuhan pada Komunikasi Persuasif

Mengingat alat komunikasi merupakan sarana penting dalam melakukan sosialisasi ke masyarakat, sebagai bentuk antisipasi terhadap simpang-siurnya pemahaman terhadap perbankan syari'ah, maka revitalisasi komunikasi persuasif bisa menjadi pilihan untuk segera diterapkan.

Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan dewasa ini, sangat ditentukan oleh dua hal pokok, yaitu (1) track record perbankan dalam melayani dan menjamin dana simpanan masyarakat. (2) kemampuan resistensinya terhadap gejolak badai krisis moneter dan ekonomi, yang di pertengahan Juli 1997 menjadi awal pencerminan, manakah perbankan yang benar-benar solid dan mana yang bubble (kelihatan kuat tapi nyatanya keropos).

Bagaimana dengan perbankan syari'ah? Di sinilah perlunya database untuk dikomunikasikan kepada masyarakat umum, bahwa ternyata terbukti perbankan syari'ah resisten (punya daya tahan) terhadap badai krisis moneter/ekonomi. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mengkomunikasikan "value" keuntungan kompetitif ini ke tengah-tengah masyarakat? Hal inilah yang saya maksudkan perlunya dikembangkan strategi Model Hovland (Saefuddin Azwar, 2002: 63) yaitu strategi komunikasi persuasif untuk merubah sikap enggan masyarakat terhadap perbankan syari'ah.

Dalam model ini, ada tiga syarat yang harus terpenuhi jika informasi yang ingin disampaikan efektif membentuk perubahan sikap masyarakat. Pertama, komunikasi tersebut bisa berhasil jika isi komunikasi bisa diperhatikan, sehingga sedapat mungkin masyarakat mau mengikuti apa yang menjadi tujuan si komunikator (perbankan syari'ah). Kedua, komunikasi bisa berhasil jika komunikasi tersebut bisa dipahami, agar masyarakat penerima komunikasi bisa langsung paham dan bertindak sesuai dengan pesan komunikator-seperti konsepnya AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) dalam strategi pemasaran produk baru.

Ketiga, komunikasi tersebut bisa berhasil jika isi komunikasinya bisa diterima oleh masyarakat. Semua persyaratan itu perlu diterjemahkan dalam kerangka mengantisipasi bahaya simpang-siurnya informasi yang telah merugikan eksistensi perbankan syari'ah. Juga bisa digunakan untuk menjembatani kelemahan dalam sosialisasi produk-produk perbankan syari'ah.

Kendala yang bisa muncul dalam strategi model ini adalah tingginya biaya produksi saluran komunikasi, baik melalui media cetak maupun elektronik. Bahkan ada yang mengatakan kepada saya, biaya pembuatan spot iklan di televisi seperti Bank Mandiri misalnya, mencapai kurang lebih Rp 5 milyar. Oleh karena itu, diperlukan usaha kreatif lewat saluran-saluran lain. Bisa melalui relationship strategy-untuk mengganti transaction strategy yang selama ini dipakai-yaitu strategi silaturrahmi dan bersahabat, yang tujuannya membentuk tali hubungan baik dengan masyarakat umum. Sarananya lewat personal selling, pengajian dakwah, road show, kegiatan-kegiatan sosial, mengadakan kursus, training, diskusi, seminar, simposium, atau bahkan lewat paradigma science (ilmu pengetahuan formal) di perguruan tinggi-perguruan tinggi. Pilihan cara-cara tersebut bisa dimaksimalkan sesuai dengan target yang ingin dicapai.

Lewat cara-cara tersebut, di samping ada unsur pendidikannya yang lebih penting adalah terpenuhinya komunikasi persuasif dengan publik. Cara ini harus lebih dulu menafikan batas-batas Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Sehingga tujuan utama mengintrodusir produk dan jasa perbankan syari'ah ke masyarakat umum bisa terpenuhi. (bersambung)

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=307 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar