Rabu, 20 Oktober 2010

Perbankan Syariah dan Masyarakat Muslim Duafa

Saturday, 15 March 2003
Tulisan Oleh : Ikhwan Abidin Basri (Ketua I STEI Tazkia)

Perbankan konvensional bukanlah jenis usaha yang ramah pada kaum ekonomi lemah. Pada umumnya, perbankan konvensional tidak dibimbing untuk dapat memberdayakan masyarakat miskin, sekalipun kebijakan pemerintah dalam pembangunan selalu berusaha untuk mengangkat nasib kelompok miskin. Memang banyak bank komersial yang memberikan pinjaman-pinjaman dan kredit kepada masyarakat kecil, namun jumlah yang diberikan jauh lebih kecil dari apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka.

Dalam situasi semacam itu, muncullah pemain baru dalam perbankan nasional yaitu perbankan syariah. Dalam kurun waktu 1992-1998, perbankan syariah tidak banyak dilirik masyarakat pengusaha, dan juga belum mampu memberikan kontribusi signifikan pada perbankan nasional. Barulah ketika pemerintah menerbitkan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 peta perbankan komersial di tanah air berubah. Bank syariah baru dan unit-unit syariah dari bank konvensional pun bermunculan. Harapan umat Islam terutama kaum duafanya semakin besar, untuk mendapatkan bantuan guna memperbaiki nasib mereka.

Sesungguhnya harapan itu sah-sah saja. Mereka melihat, dengan adanya bank-bank syariah maka akan banyak dana yang dapat diperoleh untuk kepentingan sosial. Bahkan hingga sekarang masih banyak yang melihat bahwa bank syariah merupakan tempat yang baik untuk mendapatkan dana-dana untuk tujuan kebajikan semacam renovasi masjid, bantuan yatim piatu dan santunan fakir miskin.

Ini semua merupakan dampak dari potret syariah di mata masyarakat awam kaum muslimin. Gambaran syariat Islam yang mereka tangkap didominasi oleh aspek ubudiyyah dan kebajikan (charity). Mereka kurang atau tidak menyadari sama sekali aspek muamalat yang mestinya melandasi semua urusan pergaulan hidup mereka; apakah sosial, bisnis, perdagangan, keuangan, dan hubungan internasional. Menonjolnya gambaran demikian merupakan dampak dari sekulerisme dan dikotomi pola hidup yang ditanamkan oleh penjajah dan dilanggengkan oleh mereka yang terdidik dengan pandangan Barat.

Kita ingin mencoba mendudukan posisi lembaga keuangan syariah pada tataran konstalasi perbankan nasional. Sesungguhnya bank syariah tidak lain adalah perbankan yang dikelola berdasarkan ajaran-ajaran syariat Islam. Sedangkan tujuan utamanya untuk mendapatkan keuntungan yang halal bahkan juga memaksimalkan keuntungan itu. Oleh karena itu segala aktivitas yang dilakukan oleh bank syariah pada hakikatnya berorientasi kepada laba. Demikian juga dengan hubungan-hubungan komersial dengan pihak-pihak lain dilandasi oleh motif-motif komersial.

Melihat kenyataan demikian, sulit kiranya mengharapkan sentuhan bank-bank syariah untuk dapat berperan optimal dalam membantu meringankan beban kaum duafa. Di samping itu ukuran (size) bank-bank syariah dibandingkan dengan bank-bank konvensional juga tidak sebanding. Hingga sekarang, berdasarkan data dari Bank Indonesia, total aset bank-bank syariah masih berada pada level 0,02 % dari keseluruhan aset perbankan konvensional. Dengan ukuran yang begitu kecil, sulit rasanya mengharapkan peran signifikan dari lembaga-lembaga ini terutama jika dihubungkan dengan pemberdayaan masyarakat lemah. Kesulitan ini dipertegas dengan tidak meratanya distribusi lokasi cabang-cabang bank syariah yang kini sedang berkembang.

Namun pemerintah juga mengembangkan lembaga keuangan dengan skala yang lebih kecil seperti BPR Syariah dan BMT. Hingga sekarang jumlah BPR Syariah di seluruh Indonesia sekitar 83 buah tersebar di beberapa provinsi. Lembaga keuangan syariah kelas menengah ini dimaksudkan untuk membantu cakupan aktivitas perbankan syariah di kabupaten-kabupaten yang merupakan simpul-simpul yang lebih dekat kepada masyarakat muslim di desa. Sekalipun demikian, kita tetap tidak dapat mengesampingkan kenyataan bahwa BPR Syariah adalah sebuah lembaga keuangan Islam komersial di mana semua aktivitasnya selalu didasarkan pada perhitungan-perhitungan komersial.

Lembaga keuangan komersial berbasis syariah yang paling mikro adalah BMT (Baitul Mal wat Tamwil). Sesungguhnya lembaga keuangan syariah mikro ini dimaksudkan menjadi pusat kegiatan usaha finansial di kecamatan dan pedesaan sehingga kaum muslimin terutama yang duafa mendapatkan akses kepada sumber daya keuangan. Pada saat BMT diperkenalkan kepada masyarakat muslim Indonesia, sambutan hangat datang dari semua kalangan. Pendirian BMT marak di mana-mana termasuk di pesantren-pesantren. Bahkan ketika krisis ekonomi mencapai puncaknya, jaringan BMT dipakai pemerintah untuk menyalurkan distribusi sembako lewat koperasi. Oleh karena itu jumlah BMT pun melonjak dalam waktu yang saat singkat. Kini jumlah telah mencapai lebih dari 1000 unit.

Sayang, BMT tidak didukung oleh tenaga-tenaga profesional yang andal sehingga banyak yang berguguran di tengah perjalanannya. Padahal dalam operasionalnya, BMT memiliki keunggulan yaitu dekat dengan nasabah yang dibinanya. Kedekatan ini dapat dipergunakan untuk membina tidak saja ekonomi rakyat, melainkan juga meningkatkan kapasitas dakwah Islamiyah secara menyeluruh.

Di samping itu BMT sebenarnya mampu melakukan pembiayaan modal kerja (mudharabah) kepada nasabahnya. Mudharabah inilah yang masih dijauhi oleh bank-bank syariah termasuk BPR Syariah karena jauhnya mereka dengan lingkungan nasabahnya, di samping juga banyak faktor lain yang menjadi hambatan terselenggaranya pembiayaan lewat mudharabah.

Oleh karena begitu besar potensi dan keunggulannya serta nilai strategisnya dibandingkan dengan lembaga keuangan yang lebih besar, maka kita perlu mengembangkan BMT secara profesional sehingga dapat memberikan kontribusi yang memadai bagi pemberdayaan masyarakat duafa. Bahkan jika perlu harus ada dukungan yang benar-benar memihak.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=401 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar