Rabu, 20 Oktober 2010

Wakaf Dalam Aturan Undang-Undang Di Indonesia

Friday, 12 September 2003
Tulisan Oleh : Uswatun Hasanah (Dosen Universitas Indonesia)

Wakaf sebagai salah satu lembaga Islam yang erat kaitannya dengan kesejahteraan umat sudah lama melembaga di Indonesia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia memiliki tanah wakaf yang luas. Namun karena sejak semula tidak diiringi dengan peraturan perundang-undangan yang memadai, tanah wakaf itu tidak berkembang dengan baik, bahkan sering menimbulkan masalah. Hal inilah antara lain yang memunculkan kesadaran pemerintah Hindia Belanda untuk menertibkan tanah wakaf di Indonesia. Pada waktu Priesterraad (Pengadilan Agama) didirikan berdasarkan Staatsblad No. 152 Tahun 1882, salah satu yang menjadi wewenangnya adalah menyelesaikan masalah wakaf.

Setelah merdeka, Pemerintah RI juga mengeluarkan peraturan-peraturan perwakafan, namun kurang memadai. Karena itu dalam rangka pembaharuan Hukum Agraria di Indonesia, persoalan perwakafan tanah diberi perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Bab II, bagian XI, Pasal 49. Dalam pasal itu disebutkan bahwa untuk melindungi berlangsungnya perwakafan tanah di Indonesia, pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah (PP). PP tersebut baru dikeluarkan setelah 17 tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu, yakni PP Nomer 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam hal perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat. Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah Bab Agama, dinyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Prof. Hazairin, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) itu tafsirannya antara lain bermakna bahwa "Negara Republik Indonesia" wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali, apabila dalam pelaksanaan syariat itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Alasannya, syariat yang berasal dari agama yang dianut warga negara Republik Indonesia itu adalah kebutuhan hidup para pemeluknya. Ayat (2) pasal itu dengan jelas juga menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu.

Dilihat dari kedua ayat itu, tersebut jelas bahwa wakaf merupakan salah satu bentuk ibadat kepada Allah. Kategorinya termasuk ibadah maliyah yaitu ibadah berupa penyerahan harta (mal) yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan. Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain, tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Agar semua itu dapat berjalan dengan baik, pemerintah wajib mengatur masalah wakaf dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan itu ketertiban dalam praktik perwakafan diharapkan dapat terwujud.

Di samping Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, ada beberapa peraturan lain yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan tanah milik; Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP. No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/75/1978 tentang Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik; Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang Pendelegasian wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan setiap kepala KUA Kecamatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan lain-lain.

Perhatian pemerintah terhadap perwakafan di tanah air tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. UU itu, dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan, Pasal 49 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a). perkawinan; (b). kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; (c). wakaf dan shadaqah. Dengan adanya berbagai peraturan itu, diharapkan pelaksanaan perwakafan di Indonesia dapat berjalan tertib. Namun kenyataannya, peraturan-peraturan yang berkenaan dengan wakaf tersebut sampai dengan tahun 1990 belum sepenuhnya mampu mengatasi masalah perwakafan.

Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan yang telah ada, pada tanggal 30 November 1990 dikeluarkan Instruksi Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf. Di samping itu agar terjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam masalah perwakafan, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Buku III juga dimuat hal-hal yang berkenaan dengan Hukum Perwakafan. Dengan demikian para hakim mempunyai pedoman dalam melaksanakan tugasnya dan diharapkan dengan adanya kompilasi itu, tidak ada lagi perbedaan pendapat di antara para ulama.

Setelah terbitnya berbagai aturan itu, tertib administrasi perwakafan di Indonesia memang meningkat. Hal ini terlihat dari banyaknya tanah wakaf yang bersertifikat. Akan tetapi dampaknya bagi kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat belum nampak. Mungkin karena wakaf yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tersebut hanyalah tanah milik, sedangkan wakaf dalam bentuk benda bergerak belum diatur. Karena benda-benda bergerak di Indonesia belum ada peraturannya, maka perwakafan di Indonesia cukup sulit untuk dikembangkan. Apalagi kebanyakan nadzir wakaf juga kurang professional dalam pengelolaan wakaf. Mereka belum bisa mengembangkan wakaf secara produktif.

Begitu pentingnya wakaf bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka UU Wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu sudah selayaknya umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya mendukung pemerintah yang saat ini sedang menyiapkan RUU Wakaf. Dalam UU Wakaf nanti hendaknya dimasukkan hasil rumusan konsepsi fikih wakaf baru di Indonesia yang antara lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih); peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih); sighat wakaf baik untuk benda tidak bergerak maupun benda bergerak seperti uang dan saham; kewajiban dan hak nadzir wakaf; dan lain-lain yang menunjang pengelolaan wakaf produktif. Benda wakaf yang diatur dalam Undang-undang Wakaf hendaknya jangan dibatasi benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam termasuk wakaf uang, saham dan lain-lain.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=460 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Transformasi Perbankan Syariah di Masa Depan

Thursday, 28 August 2003
Tulisan Oleh : Iman Hilman

Sumber : Republika Online

Dalam dunia perbankan di Indonesia saat ini, perbankan syariah sudah tidak lagi dianggap sebagai tamu asing. Hal ini disebabkan oleh kinerja dan kontribusi perbankan syariah terhadap perkembangan industri perbankan di Indonesia selama 10 tahun terakhir.

Kinerja ini semakin nyata ketika badai krisis ekonomi melanda Indonesia. Ketika perbankan konvensional banyak yang terpuruk, perbankan syariah relatif dapat bertahan bahkan menunjukkan perkembangan. Data menunjukkan bahwa pada akhir 1996, jumlah keseluruhan kantor, baik kantor pusat, kantor cabang, kantor capem, maupun kantor kas, yaitu 41 kantor. Bulan Januari 2003, jumlahnya telah menjadi 116 kantor.

Ini membuktikan bahwa secara konseptual, perbankan syariah memang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman serta sudah menjadi kewajiban sejarahnya untuk lahir dan berkembang menjadi sistem perbankan alternatif yang sesuai dengan fitrah hidup manusia. Walau demikian, kesempurnaan konsep yang berdasarkan konsep ilahiah ini tetap harus di-up date disesuaikan dengan tuntutan zaman agar tetap dapat diterapkan dalam kehidupan bisnis yang nyata. Berangkat dari pemikiran itulah diperlukan alternatif-alternatif pemikiran yang dapat menyempurnakan konsep pengembangan perbankan syariah di masa depan.

Tantangan pertama yang berada di depan mata adalah mampukah perbankan syariah memerankan fungsi intermediasi secara baik sehingga segera dapat menggerakkan sektor riil? Tantangan kedua adalah mampukah perbankan syariah berkembang di 'habitatnya yang subur' (negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia) serta menjadi contoh sukses bagi negara-negara lain dalam mengembangkan perbankan syariah. Tantangan ketiga, di masa depan perbankan syariah harus mampu menjadi rahmatan lil alamin. Artinya ia tidak hanya bermanfaat bagi kaum muslim tetapi juga bagi seluruh umat manusia.

Konsep Pengembangan

Konsep pengembangan perbankan syariah di masa depan disusun dengan visi, misi, dan strategi sebagai berikut : Visi: Menjadikan perbankan syariah sebagai urat nadi perekonomian nasional yang berkah. Artinya perbankan syariah mampu memerankan fungsinya yang utama sebagai lembaga intermediasi dan setiap aktivitasnya selalu menambah kebaikan bagi semua pihak (berkah).

Untuk mencapai visi tersebut, maka misi perbankan syariah adalah :
- Menjadi lembaga keuangan yang profesional dan dapat dipercaya sehingga menjadi tempat bagi proses akumulasi kapital masyarakat.
- Menjadi fasilitator dalam pengembangan ekonomi umat dan masyarakat Indonesia melalui perannya sebagai sumber permodalan yang mudah dan murah dan menjadi mitra sejati bagi para pelaku ekonomi lainnya.
- Menjadi lokomotif perekonomian yang berdasarkan syariah. Perbankan syariah diharapkan dapat mendorong berkembangnya sektor ekonomi lain berlandaskan syariah seperti asuransi, reksadana, dan perusahaan pembiayaan.
- Membina jaringan networking yang luas, baik dalam skala nasional maupun global.

Staretegi utama dalam konsep pengembangan perbankan syariah di masa depan adalah TRANSFORMASI. Transformasi ini terutama harus dilakukan oleh kalangan internal perbankan syariah. Adapun proses transformasi yang diperlukan adalah :

Transformasi 1 : Dari Produk Syariah ke Corporate Syariah Di masa depan, perbankan syariah tidak cukup hanya mendasarkan pada produk-produk syariahnya. Masyarakat tidak hanya menilai produknya, tetapi juga sistem manajemen, profil personalia, serta service delivery-nya. Dengan kata lain, perbankan syariah juga harus berarti semua aspek operasional yang dijalankan benar-benar berlandaskan pada syariah.

Transformasi 2 : Dari Sentimen Emosional ke Rasional Professional Salah satu kelemahan perbankan syariah adalah masih banyaknya kalangan perbankan syariah yang membidik sasarannya pada para loyalis syariah atau yang fanatik pada syariah. Artinya, perbankan lebih mencari pelanggan yang mementingkan sentimen-emosional daripada pertimbangan rasional-professional. Content dari komunikasinya masih menonjolkan isu halal-haram atau isu riba, dan kurang menonjolkan isu value yang diraih oleh pelanggan.

Pendekatan seperti ini tidak dapat diandalkan untuk jangka panjang. Ada dua alasan yang mendasarinya : pertama, jumlah orang yang fanatik jauh lebih sedikit dibanding segmen pasar yang mengambang (floating market). Pasar yang mengambang ini umumnya akan mencari perbankan yang dapat memberi value lebih tinggi. Kedua, ketika jumlah perbankan syariah sudah banyak dan persaingan sudah meningkat, maka isu riba sudah tidak relevan lagi.

Persaingan akan bergeser kepada perbankan mana yang dapat memberikan value dan pelayanan lebih baik. Oleh karena itu, perbankan di masa depan sudah harus mengemas komunikasi yang lebih menekankan pada aspek-aspek rasional dalam proses pengambilan keputusan pelanggan. Isu halal-haram atau isu riba harus menjadi isu sekunder, sedangkan isu primernya adalah profesionalisme dari perbankan serta pelayanan yang akan diterima oleh pelanggan.

Transformasi 3 : Dari Pelanggan Muslim ke Pelanggan Umum Perbankan syariah juga harus membuka diri dan secara proaktif 'menjemput bola' pelanggan umum dan non-muslim. Image bahwa perbankan syariah hanya untuk kaum muslim harus segera diubah. Dengan demikian, maka komunikasi yang dijalankan tidak lagi mengangkat isu riba, tetapi isu-isu profesionalisme.

Berkaitan dengan transformasi 2 dan 3, harus ada upaya yang sungguh-sungguh untuk merubah image perbankan syariah. Jika selama ini semboyan-semboyan yang diusung lebih bersifat 'Islami' misalnya dengan istilah-istilah 'berkah', 'halal', 'syariah', dan sebagainya, maka ke depannya istilah-istilah tersebut dilengkapi dan diperkaya (bukan diganti) dengan istilah-istilah yang lebih umum dan populer seperti "melayani", "terpercaya", "aman", "menguntungkan", "bermanfaat" , "professional" dan sebagainya.

Transformasi 4 : Dari Pengusaha Besar kepada Orientasi yang lebih Adil Konsep perbankan syariah di masa depan harus mampu menciptakan distribusi yang adil antar pengusaha besar dan kecil, serta antarpusat dan daerah. Untuk mendukung konsep ini, perbankan syariah harus membatasi pembukaan kantor cabangnya hingga level kota/kabupaten.

Sedangkan level kecamatan menjadi porsi bagi BPRS-BPRS. Pada level kantor cabang pun, harus ada kebijakan untuk mengalokasikan dana kreditnya kepada pengusaha-pengusaha di daerah. Ini untuk menghindari terserapnya dana masyarakat secara berlebihan ke pusat serta untuk mendorong perputaran dana dan investasi di daerah.

Transformasi 5 : Dari Motif Investasi ke Akumulasi Modal Dalam pandangan hukum Islam, investasi yang bernilai adalah pada sektor usaha karena akan membuka lapangan kerja, mengolah sumberdaya, serta meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, di masa depan perbankan syariah harus mempelopori pemberian "kredit murah" sehingga memotivasi masyarakat untuk berinvestasi pada sektor-sektor usaha.

Agar proses transformasi berjalan dengan baik, paling tidak dibutuhkan tiga faktor penunjang, yaitu pertama, adanya dukungan dari pemerintah dan DPR dalam bentuk perundang-undangan serta dalam menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Kedua, adanya pengembangan produk. Agar dapat bersaing dengan perbankan konvensional maka produk-produk yang diberikan harus lebih lengkap, misalnya dengan adanya kartu kredit syariah.

Ketiga, adanya dukungan positif dari masyarakat. Hal ini bisa terjadi jika dikembangkan program komunikasi dan sosialisasi secara terpadu. Program ini bertujuan untuk meningkatkan awareness dan attitude terhadap perbankan syariah, dan image building.

Adapun saluran-saluran komunikasi dan sosialisasi yang dapat dipergunakan adalah : advertising dari bank syariah, generic advertising dari asosiasi perbankan syariah, pendidikan formal dan nonformal, ulama dan tokoh masyarakat, serta publikasi melalui buku dan media massa.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=456 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Profit Sharing sebagai Karakteristik Dasar Bank Syariah (2)

Tuesday, 05 December 2000
Tulisan: M. Syafii Antonio, MSc

III. Studi Kasus

Untuk mendapatkan gambaran tentang metode perhitungan bagi hasil dan pos-pos pengambilannya, berikut ini disampaikan studi kasus dari Kuwait Finance House, Bank Islam Malaysia, dan Bank Muamalat Indonesia.

1. Kuwait Finance House (KFH)
Kuwait Finance House mencampurkan dan mengumpulkan semua dana yang tersedia dalam satu pul (pool). Hal ini meng-akibatkan semua biaya dan pendapatan ditanggung bersama antara KFH dengan pemegang rekening investasi.

Perhitungan bagi hasil diproses sebagai berikut:
i. Sumber Dana
- Paid-up Capital
- Akumulasi Cadangan
- Investment Accounts
- Saving Accounts
- Current Accounts

ii. Akunting untuk Menghitung Bagi Hasil.
- Pendapatan dari semua jenis digabung menjadi satu.
- Biaya dari semua jenis digabung menjadi satu.
- Pendapatan dikurangi biaya menghasilkan gross profit.
- Sepuluh persen dari gross profit dialokasikan untuk cadangan.
- Sisanya dialokasikan ke berbagai sumber dana sesuai dengan rasio masing-masing dari total portofolio (proporsional).

iii. Investment Rate
- Paid-up Capital & Reserves 100%
- Continuous Investment Accounts 90%
- One Year Investment Accounts 80%
- Saving Accounts 60%

Current account tidak dilibatkan dalam perhitungan bagi hasil meskipun sejumlah investasi dananya berasal dari current account. Profit untuk current account dilakukan secara implisit dan proporsional terhadap sumber-sumber lain.

2. Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB)
Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) adalah pionir per-bankan Islam di Asia Tenggara. BIMB didirikan pada tahun 1983 dengan Lembaga Tabung Haji (Pilgrimage Fund) sebagai pemegang saham utama. Saat ini BIMB memiliki lebih dari 70 cabang, dan tercatat sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Kuala Lumpur.

Dalam strategi investasinya bank Islam Malaysia Berhad mencampurkan semua dana yang tersedia dalam satu pul. Meskipun demikian, BIMB tidak memberlakukan sharing, baik dalam pendapatan maupun biaya.

Perhitungan bagi hasil diproses sebagai berikut:
i. Sumber Dana
- Modal dan Akumulasi Cadangan
- Investment Accounts (jangka waktu bervariasi antara 1 hingga 60 bulan)
- Saving Accounts
- Current Accounts
ii. Investment Rates:
- Saving Accounts 100%
- Investment Accounts
+ Jangka waktu 1 bulan 80%
+ Setiap perpanjangan 1 bulan, rates dinaikkan 5%
+ Jangka waktu 60 bulan 130%
iii. Akunting untuk Menghitung Bagi Hasil
Bank Islam Malaysia Berhad menetapkan tiga rekening pendapatan, yaitu:
- Financing and Investment Income Accounts
- Foreign Exchange Income Accounts
- Fees and Commissions Accounts
Account-account pendapatan ini dikredit berdasarkan cash basis.
Financing and investment Income Accounts dan Foreign Exchange
Income Accounts merupakan subjek untuk dialokasikan.
Sedangkan pendapatan dari fee dan komisi sepenuhnya menjadi milik bank.
Pendapatan dari pembiayaan, investasi, serta valuta asing digabung dan dialokasikan sesuai dengan maturitas berdasarkan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan. Untuk menunjukkan tingkat kontribusi masing-masing jenis investasi, manajemen BIMB memberikan pembobotan sebagai indeks. Besarnya bobot bervariasi antara 0.8 hingga 1.3, ter-gantung tingkat maturitas masing-masing investasi.

Semua biaya ditanggung oleh bank (mudharib), ter-masuk provisi untuk risiko pembiayaan dan operasi investasi.

iv. Nisbah Bagi Hasil
Nisbah antara bank (mudharib) dan deposan (shahibul maal untuk saving accounts adalah 50%:50%. Sedangkan untuk investment accounts adalah 30%: 70%.

3. PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), Tbk.
Bank Muamalat Indonesia mencampurkan semua dana yang tersedia dalam satu pul. Meskipun demikian, BMI tidak memberlakukan sharing, baik dalam pendapatan maupun biaya.

Perhitungan bagi hasil diproses sebagai berikut:
i. Jenis dana pihak ketiga, investment rates, dan bobot:
Deposito
- 1 bulan 80%
- 3 bulan 85%
- 6 bulan 90%
- 12 bulan 100%
Rekening Tabungan 88%
Rekening Koran 70%

ii. Sumber-sumber pendapatan yang dialokasikan dalam proses penghitungan bagi hasil:
- Pendapatan mark-up.
- Pendapatan komisi pembiayaan.
- Pendapatan diskonto SBPU.
- Pendapatan dari penempatan pada bank lain.

iii. Pendapatan yang dibagikan merupakan perbandingan antara total volume rata-rata dana pihak ketiga dengan total volume rata-rata pembiayaan dikalikan dengan total pendapatan. Dengan kata lain, jika seluruh pembiayaan bersumber dari dana pihak ketiga, maka seluruh pen-dapatan akan dialokasikan untuk perhitungan bagi hasil.

iv. Pendapatan lain, seperti pendapatan transaksi valuta asing, fee, dan komisi, sepenuhnya menjadi milik bank.

v. Pendapatan dialokasikan ke setiap sumber dana secara proporsional sesuai dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan setelah dikalikan dengan bobot (weighting).

vi. Bagian pendapatan untuk rekening koran sepenuhnya dimiliki oleh bank dengan asumsi aplikasi rekening koran berdasarkan kontrak wadiah. Meskipun demikian, bank tetap memberikan bonus.

vii. Semua biaya ditanggung oleh bank termasuk provisi untuk risiko pembiayaan dan operasi investasi.

viii. Nisbah yang berlaku sekarang antara bank dan pemegang rekening adalah sebagai berikut:
Deposito
- 1 bulan 65 : 35
- 3 bulan 66 : 34
- 6 bulan 66 : 34
- 12 bulan 63 : 37
Rekening Tabungan 45 : 55
Rekening Koran Bonus

ix. Dari uraian di atas, sebenarnya dalam kasus BMI istilah yang tepat untuk bagi hasil ialah revenue sharing, karena yang dibagikan adalah pendapatan, bukan keuntungan.

Contoh Kasus
1. Perbandingan Bank Syariah dan Bank Konvensional

BANK SYARIAH BANK KONVENSIONAL
Bapak A memiliki Deposito Nominal = Rp 10.000.000,00
Jangka Waktu = 1 (satu) bulan (1 Jan 2000 - 1 Feb 2000)
Nisbah = Deposan 57% : Bank 43% Bapak B memiliki Deposito Nominal = Rp 10.000.000,00
Jangka Waktu = 1 (satu) bulan (1 Jan 2000- 1 Feb 2000)
Bunga = 20% p.a.
Jika keuntungan yang diperoleh untuk deposito dalam 1 (satu) bulan sebesar Rp 30.000.000,00 dan rata-rata saldo deposito jangka waktu satu bulan adalah Rp 950.000.000,00
Pertanyaan:
Berapa keuntungan yang diperoleh Bapak A ? Pertanyaan:
Berapa bunga yang diperoleh Bapak B ?
Jawab:
Rp (10.000.000 : 950.000.000) X Rp 30.000.000 X 57%
= Rp 180.000 Jawab:
Rp 10.000.000 X (31: 365 hari) X 20%
= Rp 169.863


2. Kesimpulan
i. Kesimpulan I

BANK SYARIAH BANK SYARIAH

Besar kecilnya bagi hasil yang diperoleh deposan tergantung pada:
- Pendapatan Bank
- Nisbah bagi hasil antara nasabah dan Bank
- Nominal deposito nasabah? Rata-rata saldo deposito untuk jangka waktu tertentu yang ada pada Bank
- Jangka waktu deposito ka-rena berpengaruh pada lamanya investasi
Besar kecilnya bunga yang di-peroleh deposan tergantung kepada:
- Tingkat bunga yang berlaku
- Nominal deposito
- Jangka waktu deposito


ii. Kesimpulan II

BANK SYARIAH BANK SYARIAH
Bank Syariah memberi keuntungan kepada deposan dengan pendekatan LDR (Loan to Deposit Ratio), Semua bunga yang diberi-kan kepada deposan menjadi beban biaya langsung
yaitu mempertimbangkan rasio antara dana pihak ke-tiga dengan pembiayaan yang diberikan

- Dalam perbankan syariah LDR bukan saja mencermin-kan keseimbangan tetapi juga keadilan, karena bank benar-benar membagikan hasil riil dari dunia usaha (loan) kepada penabung (deposit). - Tanpa memperhitungkan berapa pendapatan yang dapat dihasilkan dari dana yang dihimpun.
- Konsekuensinya, bank harus menambahi bila bunga dari peminjam ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban bunga ke deposan. Hal ini terkenal dengan istilah negative spread atau keuntungan negatif alias rugi.


sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=35 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Profit Sharing sebagai Karakteristik Dasar Bank Syariah

Monday, 04 December 2000
Tulisan: M. Syafii Antonio, MSc

I. Kontrak al Mudharabah

Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank Islam secara keseluruhan. Secara syariah prinsip berdasarkan pada kaidah al mudharabah. Berdasarkan prinsip ini bank Islam akan berfungsi sebagai mitra baik dengan penabung demikian juga dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib (pengelola) sementara penabung sebagai shahibul maal (penyandang dana). Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak.

Di sisi lain, dengan pengusaha/peminjam dana, bank Islam akan bertindak sebagai shahibul maal (penyandang dana-baik yang berasal dari tabungan /deposito/giro maupun dana bank sendiri berupa modal pemegang saham). Sementara itu, pengusaha/peminjam akan berfungsi sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank (lihat gambar 1)





gambar 2.

Meskipun demikian dalam perkembangannya para pengguna dana bank Islam tidak saja membatasi dirinya pada satu akad yaitu mudharabah saja. Sesuai dengan jenis dan nature usahanya, mereka ada yang memperoleh dana dengan sistem perkongsian, sistem jual-beli, sewa menyewa dan lain-lain. Oleh karena itu, hubungan bank Islam dengan nasabahnya menjadi sangat kompleks karena tidak hanya berurusan dengan satu akad namun dengan berbagai jenis akad.

1. Jenis al Mudharabah
Seperti juga telah disebut pada bagian sebelumnya, al mu-dharabah terbagi atas dua jenis, yakni yang bersifat tidak terbatas (muthlaqah, unrestricted) dan yang bersifat terbatas (muqayyadah, restricted). Pada jenis al mudharabah yang pertama pemilik dana mem-berikan otoritas dan hak sepenuhnya kepada mudharib untuk menginvestasikan atau memutar uangnya.

Pada jenis al mudharabah kedua, pemilik dana memberi batasan kepada mudharib. Di antara batasan itu, misalnya, adalah jenis investasi, tempat investasi, serta pihak-pihak yang dibolehkan terlibat dalam investasi. Pada jenis ini, shahibul maal dapat pula mensyaratkan kepada mudharib untuk tidak mencampurkan hartanya dengan dana al mudharabah.

2. Aplikasi al Mudharabah dalam Bank Islam
Seperti dikemukakan di muka bahwa al mudharabah dapat dilakukan dengan memisahkan atau mencampurkan dana al mudharabah. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu

i. Pemisahan total antara dana al mudharabah dan harta-harta lainnya, termasuk harta mudharib.
Teknik ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan teknik ini adalah bahwa pendapatan dan biaya dapat dipisahkan dari masing-masing dana dan dapat dihitung dengan akurat. Selain itu, keuntungan atau kerugian dapat dihitung dan dialokasikan dengan akurat. Kelemahan teknik ini, terutama menyangkut masalah moral hazard dan preferensi investasi si mudharib. Akan timbul pertanyaan, di antaranya adalah ke portofolio mana dana tersebut diinvestasikan? Dalam portofolio mana account officer ditugaskan? Bagaimana si mudharib (bank) menjelaskan jika rate of return dari dana pemegang saham ternyata lebih besar dibanding dengan rate of return dana al mudharabah?

ii. Dana al mudharabah dicampur dan disatukan dengan sumber-sumber dana lainnya.
Sistem ini menghilangkan munculnya masalah etika dan moral hazard seperti di atas. Namun, dalam sistem ini pendapatan dan biaya al mudharabah tercampur dengan pendapatan dan biaya lainnya. Hal ini menimbulkan sedikit kesulitan akunting dalam memproses alokasi keuntungan atau kerugian antara pemegang saham dan pemegang rekening.

II. Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil

1. Faktor Langsung
Di antara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mem-pengaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio).
i. Investment rate merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80 persen, hal ini berarti 20 persen dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.
ii. Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan meng-gunakan salah satu metode:
- Rata-rata saldo minimum bulanan.
- Rata-rata total saldo harian
Investment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan.
iii. Nisbah (profit sharing ratio)
- Salah satu ciri al mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian.
- Nisbah antara satu bank dengan bank lainnya dapat berbeda.
- Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu bank, misalnya deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan..
- Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dengan account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya.

2. Faktor Tidak Langsung
i. Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah.
- Bank dan nasabah melakukan share dalam penda-patan dan biaya (profit and sharing). Pendapatan yang dibagi-hasilkan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya.
- Jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing.
ii. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting)
Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalan-nya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=34 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Profil Lembaga Keuangan Syariah - Bank Syariah

Friday, 01 June 2001
Sumber: Pesantren.net

Bank Muamalat Indonesia (BMI)

Bank Muamalat, bukan sekedar merupakan bank syariah pertama di Indonesia. Lebih dari itu, juga merupakan institusi ekonomi pertama yang menerapkan sistem syariah di Indonesia. Wajar jika BMI menjadi simbol monumental kebangkitan sistem ekonomi syariah di Indonesia. Apalagi saat Bank Muamalat mulai beroperasi pada 1 Mei 1992, sistem perbankan Indonesia sepenuhnya masih menerapkan sistem konvensional. Termasuk di Bank Indonesia, sebagai lembaga bank sentral.

Izin usaha bagi PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) sendiri sebenarnya sudah dikantungi sejak 1 November 1990. Gagasan pendirian bank tanpa bunga ini, bermula dari Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang digelar MUI, 18-20 Agustus 1990. Gagasan inilah yang kemudian diadopsi menjadi salah satu rekomendasi yang dihasilkan Munas IV MUI, 22-25 Agustus tahun yang sama.

Masalah permodalan, awalnya menjadi kendala untuk mewujudkan gagasan pendirian bank ini. Saat itu, untuk mendirikan bank umum sawasta nasional, diperlukan modal disetor minimal Rp 10 miliar. Hal ini didasarkan pada kebijakan Deregulasi bidang Keuangan, Moneter dan Perbankan yang dikenal dengan Paket Kebijakan Oktober (Pakto 27), 27 Oktober 1988.

Untuk mengumpulkan dana Rp 10 miliar dari ummat Islam, saat itu bukanlah hal yang mudah. Namun dengan dukungan ICMI, lobby Habibie kepada Presiden Soeharto serta dukungan para pengusaha dan ummat Islam pada umumnya, akhirnya berhasil dimobilisasi dana hingga Rp 106 milyar. Dana inilah yang kemudian menjadi modal usaha Bank Muamalat.

Saat perbankan nasional mengalami krisis cukup parah pada 1998, sistem bagi hasil yang secara umum diterapkan dalam produk-produk Bank Muamalat, relatif berhasil mempertahankan kinerja bank tersebut. Saat Bank Indonesia menetapkan rasio kecukupan modal (Capital Adequcy Ratio/CAR) yang harus dimiliki bank minimum empat persen, Bank Muamalat memiliki CAR 12 persen.

Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2000, bank yang berkantor pusat di Arthaloka Building, Jl. Jendral Sudirman No. 2 Jakarta itu berhasil membukukan laba Rp 17 miliar. Laba tersebut, berasal dari keuntungan non-operasional yang mencapai Rp 24 miliar. Sayangnya, secara operasional BMI masih merugi Rp 7 miliar.

Berdasarkan RUPS tahun 1999, Bank Muamalat dikelola oleh suatu dewan direksi yang terdiri dari A. Riawan Amin sebagai direktur utama serta Ariviyan Arifin, Suhaji Lestiadi dan Budi Wicaksono masing-masing sebagai direktur.

Jajaran dewan syariah diketuai oleh KH. Ali Yafie dengan anggotanya yaitu KH. Ibrahim Husen, KH. Omar Shihab, KH. Muwardi Chatib dan H. Syafi'i Antonio. Sedangkan di Dewan Komisaris terdapat nama H. Abbas Adhar sebagai komisaris utama, didampingi empat orang komisaris yaitu AM. Saefuddin, M. Amin Aziz, Korkut Ozal, Zainulbahar Noor dan H. Mubarok.n

Bank Syariah Mandiri (BSM)

Konversi sistem operasi perbankan dari konvensional ke sistem syariah, yang dimungkinkan UU No. 10 Tahun 1998, untuk kali pertama dimanfaatkan oleh Bank Susila Bhakti (BSB). Bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Bank Dagang Negara (BDN) -sebelum dimerger ke dalam Bank Mandiri- per 19 November 1999, resmi menerapkan sistem syariah dan mengubah namanya menjadi Bank Syariah Mandiri (BSM).

Saat BSM resmi beroperasi, kondisi perbankan nasional Indonesia masih belum pulih dari krisis. Namun, rasio kecukupan modal (CAR) BSM yang saat diresmikan memiliki delapan kantor cabang, sudah 600 persen. Sedangkan assetnya mencapai Rp 450 miliar, Rp 381 miliar diantaranya berupa dana liquid. Dari modal netto Rp 359,118 miliar, BSM telah telah menyalurkan pembiayaan Rp 100 juta.

Kali pertama diresmikan, dana masyarakat yang berhasil dihimpun bank yang berkantor pusat di Jl. MH. Thamrin, Jakarta itu, sudah mencapai Rp 57,56 miliar. Rp 47,32 miliar merupakan simpanan nasabah BSB yang dipertahankan pemiliknya di BSM, selebihnya merupakan dana dari masyarakat yang baru bergabung dengan BSM. Karyawan BSM yang jumlahnya mencapai 200 orang, dipimpin oleh Direktur Utama Nurdin Hasibuan dan Direktur Yuslam Fauzi. Pada akhir tahun 2000, BSM memproyeksikan penambahan kantor cabang hingga menjadi 20 dan pada 2001 menjadi 100 kantor cabang. Daerah-daerah yang menjadi prioritas pembukaan cabang, merupakan daerah yang penduduknya mayoritas ummat Islam yaitu Aceh, Pekalongan, Pamekasan (Madura), Solo dan Makassar.

Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2000, BSM yang usianya belum genap setahun sudah menunjukkan kinerja yang baik. Ini dibuktikan dengan perolehan labanya yang mencapai Rp 7,8 miliar. Sebagian besar dari laba itu, yaitu Rp 4,3 miliar, berasal dari laba operasional. Biaya pencadangan untuk kredit kategori macet, diragukan dan kurang lancar, juga turun drastis dari Rp 150 miliar menjadi hanya Rp 272 juta. Ini karena adanya suntikan modal segar sebesar Rp 547 miliar, yang Rp 204 miliar diantaranya digunakan untuk menutupi kerugian sebelum konversi BSB menjadi BSM. Dengan demikian, modal yang tercatat per Juni 2000 adalah Rp 358 miliar.

Sayangnya, sebagian terbesar dari dana tersebut belum dapat terdistribusi untuk pembiayaan ke usaha-usaha sektor produktif. Namun masih disalurkan untuk membeli Surat Berharga Syariah yaitu Rp 345 miliar. Baru Rp 157 miliar saja yang disalurkan untuk pembiayaan.n

Bank IFI Syariah

Selain memberi peluang konversi sistem konvensional ke sistem syariah, UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, juga memberi peluang operasi perbankan syariah dengan mekanisme Dual Banking System. Artinya, suatu badan usaha perbankan, memiliki dua sistem operasi sekaligus yaitu sistem konvensional dan syariah. Namun dalam pengelolaan dana, diantara keduanya harus tetap dipisahkan. Sistem operasi ganda perbankan inilah yang diterapkan pada Bank IFI, oleh direktur utamanya, Harry Rachmadi. Pada 29 Juni 1999, Bank IFI resmi membuka satu kantor cabangnya dengan menerapkan sistem syariah. Bank IFI cabang syariah, didirikan dengan modal disetor Rp 2 miliar. Dengan demikian, selain menerapkan sistem konvensional, Bank IFI Juga sekaligus menerapkan sistem syariah.

Meski sementara ini Bank IFI hanya memiliki satu kantor cabang syariah yang berlokasi di Jl HR. Rasuna Said, Jakarta, namun sebagai strategi pengembangan usaha, Bank IFI syariah menjalin aliansi dengan sejumlah institusi ekonomi Islam. Bersamaan dengan peresmian Bank IFI Syariah, ditandatangani juga kerjasama dengan PT Danareksa Investment Management, Asosiasi BPR Syariah Indonesia, Yayasan Dompet Dhuafa, Asuransi Takaful serta Ikatan Pengusaha Muslim. Dengan strategi ini, meski jumlah outletnya masih sangat terbatas, Bank IFI Syariah berharap dapat merangkul potensi dana ummat Islam sebanyak mungkin.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=124 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Prinsip-prinsip Operasional Bank Islam

Wednesday, 22 November 2000
Tulisan: Drs. Zainul Arifin, MBA

1. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Sistim keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah memperkenalkan sistim nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam.

Islam berbeda dengan agama-agama lainnya, karena agama lain tidak dilandasi dengan postulat iman dan ibadah. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat diarahkan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi subyek yang dipelajari dalam Ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dengan ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, dalam Ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam.

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :

(1) Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.

(2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.

(3) Kekuatan penggerak utama Ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur'an: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu…' (QS 4 : 29).

(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkap kan bahwa, 'Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…' (QS 57:7). Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.

(5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api" (Al Hadits). Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.

(6) Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur'an sebagai berikut: 'Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan dengan sempurna usahanya. Dan mereka tidak teraniaya…' (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.

(7) Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.

(8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur'an secara berturut-turut dari QS 39:39, QS 4:160-161, QS 3:130-131 dan QS 2:275-281.

Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk dipraktekkannya bunga.

2. Prinsip Dasar Operasional Bank Islam

2.1 Prinsip Utama

Islam adalah suatu Din (Way of Life) yang praktis, yang mengajarkan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dengan mengabaikan waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia (human nature).

Prof. Emeritus Tan Sri Datuk Ahmed bin Mohd. Ibrahim menyatakan :

"Banking and financial activities have emerged to meet genuine human needs. Therefore, unless these activities belong to the category expressly forbidden by Islam, there is nothing in the nature of these activities which is contrary to the Syariah. Examples of forbidden activities include gambling and manufacturing and trading in forbidden goods such as liquor" .

Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Qur'an yaitu:

(1) Prinsip Al Ta'awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an :

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran" (QS 5:2)

(2) Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (Idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur'an :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…" (QS 4: 29)

Perbedaan pokok antara Perbankan Islam dengan perbankan konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) bagi perbankan Islam. Bagi Islam, riba dilarang sedang jual-beli (Al Bai') dihalalkan.

Sejak dekade tahun 70-an, umat Islam di berbagai negara telah berusaha untuk mendirikan bank-bank Islam. Tujuan dari pendirian bank-bank Islam ini pada umumnya adalah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan dan bisnis lain yang terkait.

Prinsip utama yang dianut oleh Bank Islam adalah:
· Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi;
· Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah;
· Memberikan zakat.

Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (Bai' al Muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman:

"Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kele- mahan - kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka."

Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.

"Ternyata Rasulullah saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Nampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya."

Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, oleh karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.

Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengambil resiko karena ber-musyarakah atau ber-mudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan Qard yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apapun karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba.

Secara mikro, Qard tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, Qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian Qard membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (National Income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula pengeluaran Shadaqah juga akan memberikan manfaat yang lebih kurang sama dengan pemberian Qard.

Islam juga tidak mengenal konsep Time Value of Money, namun Islam mengenal konsep Economic Value of Time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah saw, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (Deferred Payment) lebih tinggi daripada harga tunai (Cash).

Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan Time Value of Money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500,00, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp 1000,00. Sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai .

2.2. Sistim Operasional Bank Islam

Sistim keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dalam bentuk penyertaan (equity financing) maupun dalam bentuk pinjamanan (debt financing).

Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (Profit and Loss Sharing), sebagai metoda pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai') untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing), dengan produk-produknya sebagai berikut :

2.2.1. Produk Pembiayaan

(a) Equity Financing.

Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu :

1) Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)

Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (Syirkah al Inan) sebagai sebuah Badan Hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (Voting Right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan mengalami kerugian, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek dimana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan.

Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap. Inilah yang disebut dengan Musyarakah al Mutanakishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya, dimana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.

2) Mudharabah (Trustee Profit Sharing)

Kontrak mudharabah adalah juga merupakan suatu bentuk Equity Financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dengan musyarakah. Di dalam mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal melainkan antara penyedia dana (Shahib al Maal) dengan entrepreneur (Mudharib). Di dalam kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan atau perniagaan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.

Dalam hal obyek yang didanai ditentukan oleh penyedia dana, maka kontrak tersebut dinamakan Mudharabah al Muqayyadah. Dia menggunakan modal tersebut, dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, untuk menghasilkan keuntungan. Pada saat proyek sudah selesai, Mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh Shahib al Maal. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi penyedia dana (Mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung, atau dapat menjadi penyedia dana (Shahib al Maal) dalam hubungan mereka dengan pihak yang mereka beri dana.

(b) Debt Financing

Kalimat Al Qur'an "… Allah menghalalkan jual beli (al bai) dan melarang riba…" (QS 2:275) menunjukkan bahwa praktek bunga adalah tidak sesuai dengan spirit Islam. Istilah jual-beli (Al Bai') memiliki arti yang secara umum meliputi semua tipe kontrak pertukaran, kecuali tipe kontrak yang dilarang oleh syariah. Al Bai' berarti setiap kontrak pertukaran barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang (termasuk uang) dan jasa yang lain. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash) atau dengan tangguh (deferred). Oleh karenanya syarat-syarat Al Bai' dalam Debt Financing menyangkut berbagai tipe dari kontrak jual beli tangguh (Deferred Contract of Exchange) yang meliputi transaksi-transaksi sebagai berikut:

1. Prinsip Jual-beli

- Al Murabahah, yaitu kontrak jual beli dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan segera, sedang harga (baik pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara sekaligus (Lump Sum Deferred Payment). Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar secara tangguh dan sekaligus.

- Al Bai' Bitsaman Ajil, yaitu kontrak al murabahah dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan dengan segera sedang harga atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara angsuran (Installment Deferred Payment). Dalam prakteknya pada bank sama dengan murabahah, hanya saja kewajiban nasabah dilakukan secara angsuran.

- Bai' as Salam, yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang yang diperjual-belikan dibayar dengan segera (secara sekaligus), sedangkan penyerahan atas barang tersebut dilakukan kemudian. Bai' as salam ini biasanya dipergunakan untuk produk-produk pertanian yang berjangka pendek. Dalam hal ini, bank bertindak sebagai pembeli produk dan menyerahkan uangnya lebih dulu sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola pertaniannya. Karena kewajiban nasabah kepada bank berupa produk pertanian, biasanya bank melakukan Paralel Salam yaitu mencari pembeli kedua sebelum saat panen tiba.

- Bai' al Istishna', hampir sama dengan bai' as salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi (manufactured) dan diserahkan kemudian. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (mustashni' ke-1) kepada pemilik/pembeli proyek (bohir) dan mensubkannya kepada kontraktor (mustashni' ke-2).

2. Prinsip sewa-beli

Sewa dan Sewa-beli (Ijarah dan Ijara wa Iqtina) oleh para ulama, secara bulat dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai lease dan financing lease. Al Ijarah atau sewa, adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberikan options untuk membeli barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut Al Ijarah wa Iqtina', dimana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.

(c) Al Qard al Hasan

Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank dapat memberikan fasilitas yang disebut Al Qard al Hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya tetapi bank sama sekali dilarang untuk menerima imbalan apapun.

2.2.2. Produk Penghimpunan Dana (Funding)

Bank Islam menjalankan fungsi-fungsi financing tersebut adalah dalam kapasitasnya sebagai mudharib dengan menggunakan dana-dana yang diperoleh dari para nasabah sebagai Shahib al Maal, yang menyimpan dan menanamkan dananya pada bank melalui rekening-rekening sebagai berikut :

(a) Rekening Koran

Jasa simpanan dana dalam bentuk Rekening Koran diberikan oleh bank Islam dengan prinsip Al Wadi'ah yad Dhamanah, di mana penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, bank menerima simpanan dana dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dengan kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu.

Jadi, Bank memperoleh ijin dari nasabah untuk menggunakannya selama dana tersebut mengendap di bank. Nasabah sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh saldo yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan pembayaran kembali dari bank atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan dana tersebut selama mengendap di bank adalah menjadi hak bank. Bank diperbolehkan memberikan bonus kepada nasabah atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian. Bank menyediakan cek dan jasa-jasa lain yang berkaitan dengan rekening koran tersebut.

Berdasarkan prinsip wadiah ini penerima simpanan juga dapat bertindak sebagai Yad al Amanah (tangan penerima amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal itu bukan akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan (terjadi karena faktor di luar kemampuan penerima simpanan). Penerapannya dalam perbankan dapat kita saksikan, misalnya dalam pelayanan safe deposit box.

(b) Rekening Tabungan.

Bank menerima simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali berikut kemungkinan memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip Wadi'ah. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, namun tetapi berbeda dengan rekening koran, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.

(c) Rekening Investasi Umum

Bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi dari dana mereka dalam bentuk Rekening Investasi Umum berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.

(d) Rekening investasi khusus

Bank dapat juga menerima simpanan dari pemerintah atau nasabah korporasi dalam bentuk rekening simpanan khusus. Rekening ini juga dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah, tetapi bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus (mudharabah muqayyadah).

2.2.3. Produk Jasa-jasa

(a) Rahn

Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan uang sebagai gantinya. Akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah untuk keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.

(b) Wakalah

Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak. Dalam aplikasinya pada Perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.

(c) Kafalah

Kafalah adalah akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (Bank Guarantee), baik dalam rangka mengikuti tender (Bid bond), pelaksanaan proyek (Performance bond), ataupun jaminan atas pembayaran lebih dulu (Advance Payment bond).

(d) Hawalah

Hawalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Prakteknya dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (Factoring). Namun kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan hutang/piutang tersebut.

(e) Jo'alah

Jo'alah adalah suatu kontrak dimana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas / pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah.

(f) Sharf

Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya.

Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam beberapa hadits antara lain:
- Harus tunai;
- Serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontak;
- Bila dipertukarkan mata uang yang sama harus dalam jumlah / kuantitas yang sama.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=20 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Prinsip-prinsip Operasional Bank Islam

Wednesday, 22 November 2000
Tulisan: Drs. Zainul Arifin, MBA

1. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Sistim keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, yang tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah memperkenalkan sistim nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika ini maka keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekedar sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan oleh Islam.

Islam berbeda dengan agama-agama lainnya, karena agama lain tidak dilandasi dengan postulat iman dan ibadah. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat diarahkan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi subyek yang dipelajari dalam Ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dengan ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, dalam Ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam.

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :

(1) Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.

(2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.

(3) Kekuatan penggerak utama Ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur'an: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu…' (QS 4 : 29).

(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkap kan bahwa, 'Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…' (QS 57:7). Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.

(5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api" (Al Hadits). Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.

(6) Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur'an sebagai berikut: 'Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan dengan sempurna usahanya. Dan mereka tidak teraniaya…' (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.

(7) Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.

(8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur'an secara berturut-turut dari QS 39:39, QS 4:160-161, QS 3:130-131 dan QS 2:275-281.

Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk dipraktekkannya bunga.

2. Prinsip Dasar Operasional Bank Islam

2.1 Prinsip Utama

Islam adalah suatu Din (Way of Life) yang praktis, yang mengajarkan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dengan mengabaikan waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia (human nature).

Prof. Emeritus Tan Sri Datuk Ahmed bin Mohd. Ibrahim menyatakan :

"Banking and financial activities have emerged to meet genuine human needs. Therefore, unless these activities belong to the category expressly forbidden by Islam, there is nothing in the nature of these activities which is contrary to the Syariah. Examples of forbidden activities include gambling and manufacturing and trading in forbidden goods such as liquor" .

Aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Qur'an yaitu:

(1) Prinsip Al Ta'awun, yaitu saling membantu dan saling bekerja sama diantara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an :

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran" (QS 5:2)

(2) Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (Idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur'an :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…" (QS 4: 29)

Perbedaan pokok antara Perbankan Islam dengan perbankan konvensional adalah adanya larangan riba (bunga) bagi perbankan Islam. Bagi Islam, riba dilarang sedang jual-beli (Al Bai') dihalalkan.

Sejak dekade tahun 70-an, umat Islam di berbagai negara telah berusaha untuk mendirikan bank-bank Islam. Tujuan dari pendirian bank-bank Islam ini pada umumnya adalah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan dan bisnis lain yang terkait.

Prinsip utama yang dianut oleh Bank Islam adalah:
· Larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi;
· Menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah;
· Memberikan zakat.

Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (Bai' al Muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman:

"Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kele- mahan - kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka."

Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.

"Ternyata Rasulullah saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Nampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di dalamnya."

Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam, uang adalah flow concept, oleh karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian.

Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi hasil. Bila ia tidak ingin mengambil resiko karena ber-musyarakah atau ber-mudharabah, maka Islam sangat menganjurkan untuk melakukan Qard yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apapun karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba.

Secara mikro, Qard tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, Qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian Qard membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasional (National Income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula pengeluaran Shadaqah juga akan memberikan manfaat yang lebih kurang sama dengan pemberian Qard.

Islam juga tidak mengenal konsep Time Value of Money, namun Islam mengenal konsep Economic Value of Time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husin bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah saw, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (Deferred Payment) lebih tinggi daripada harga tunai (Cash).

Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan Time Value of Money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500,00, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp 1000,00. Sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi dari harga tunai .

2.2. Sistim Operasional Bank Islam

Sistim keuangan dan perbankan modern telah berusaha memenuhi kebutuhan manusia untuk mendanai kegiatannya, bukan dengan dananya sendiri, melainkan dengan dana orang lain, baik dalam bentuk penyertaan (equity financing) maupun dalam bentuk pinjamanan (debt financing).

Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad bagi hasil (Profit and Loss Sharing), sebagai metoda pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing), dan akad-akad jual-beli (al bai') untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing), dengan produk-produknya sebagai berikut :

2.2.1. Produk Pembiayaan

(a) Equity Financing.

Ada dua macam kontrak dalam kategori ini yaitu :

1) Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)

Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (Syirkah al Inan) sebagai sebuah Badan Hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (Voting Right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian keuntungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan mengalami kerugian, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek dimana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan.

Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap. Inilah yang disebut dengan Musyarakah al Mutanakishah. Aplikasinya dalam perbankan adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya, dimana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.

2) Mudharabah (Trustee Profit Sharing)

Kontrak mudharabah adalah juga merupakan suatu bentuk Equity Financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dengan musyarakah. Di dalam mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal melainkan antara penyedia dana (Shahib al Maal) dengan entrepreneur (Mudharib). Di dalam kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan atau perniagaan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.

Dalam hal obyek yang didanai ditentukan oleh penyedia dana, maka kontrak tersebut dinamakan Mudharabah al Muqayyadah. Dia menggunakan modal tersebut, dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, untuk menghasilkan keuntungan. Pada saat proyek sudah selesai, Mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh Shahib al Maal. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi penyedia dana (Mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung, atau dapat menjadi penyedia dana (Shahib al Maal) dalam hubungan mereka dengan pihak yang mereka beri dana.

(b) Debt Financing

Kalimat Al Qur'an "… Allah menghalalkan jual beli (al bai) dan melarang riba…" (QS 2:275) menunjukkan bahwa praktek bunga adalah tidak sesuai dengan spirit Islam. Istilah jual-beli (Al Bai') memiliki arti yang secara umum meliputi semua tipe kontrak pertukaran, kecuali tipe kontrak yang dilarang oleh syariah. Al Bai' berarti setiap kontrak pertukaran barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang (termasuk uang) dan jasa yang lain. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash) atau dengan tangguh (deferred). Oleh karenanya syarat-syarat Al Bai' dalam Debt Financing menyangkut berbagai tipe dari kontrak jual beli tangguh (Deferred Contract of Exchange) yang meliputi transaksi-transaksi sebagai berikut:

1. Prinsip Jual-beli

- Al Murabahah, yaitu kontrak jual beli dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan segera, sedang harga (baik pokok dan margin keuntungan yang disepakati bersama) atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara sekaligus (Lump Sum Deferred Payment). Dalam prakteknya, bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dengan kewajiban membayar secara tangguh dan sekaligus.

- Al Bai' Bitsaman Ajil, yaitu kontrak al murabahah dimana barang yang diperjual-belikan tersebut diserahkan dengan segera sedang harga atas barang tersebut dibayar di kemudian hari secara angsuran (Installment Deferred Payment). Dalam prakteknya pada bank sama dengan murabahah, hanya saja kewajiban nasabah dilakukan secara angsuran.

- Bai' as Salam, yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang yang diperjual-belikan dibayar dengan segera (secara sekaligus), sedangkan penyerahan atas barang tersebut dilakukan kemudian. Bai' as salam ini biasanya dipergunakan untuk produk-produk pertanian yang berjangka pendek. Dalam hal ini, bank bertindak sebagai pembeli produk dan menyerahkan uangnya lebih dulu sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola pertaniannya. Karena kewajiban nasabah kepada bank berupa produk pertanian, biasanya bank melakukan Paralel Salam yaitu mencari pembeli kedua sebelum saat panen tiba.

- Bai' al Istishna', hampir sama dengan bai' as salam yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tetapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi (manufactured) dan diserahkan kemudian. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (mustashni' ke-1) kepada pemilik/pembeli proyek (bohir) dan mensubkannya kepada kontraktor (mustashni' ke-2).

2. Prinsip sewa-beli

Sewa dan Sewa-beli (Ijarah dan Ijara wa Iqtina) oleh para ulama, secara bulat dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai lease dan financing lease. Al Ijarah atau sewa, adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberikan options untuk membeli barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut Al Ijarah wa Iqtina', dimana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.

(c) Al Qard al Hasan

Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank dapat memberikan fasilitas yang disebut Al Qard al Hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya tetapi bank sama sekali dilarang untuk menerima imbalan apapun.

2.2.2. Produk Penghimpunan Dana (Funding)

Bank Islam menjalankan fungsi-fungsi financing tersebut adalah dalam kapasitasnya sebagai mudharib dengan menggunakan dana-dana yang diperoleh dari para nasabah sebagai Shahib al Maal, yang menyimpan dan menanamkan dananya pada bank melalui rekening-rekening sebagai berikut :

(a) Rekening Koran

Jasa simpanan dana dalam bentuk Rekening Koran diberikan oleh bank Islam dengan prinsip Al Wadi'ah yad Dhamanah, di mana penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut. Dengan prinsip ini, bank menerima simpanan dana dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dengan kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu.

Jadi, Bank memperoleh ijin dari nasabah untuk menggunakannya selama dana tersebut mengendap di bank. Nasabah sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh saldo yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan pembayaran kembali dari bank atas simpanan mereka. Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan dana tersebut selama mengendap di bank adalah menjadi hak bank. Bank diperbolehkan memberikan bonus kepada nasabah atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian. Bank menyediakan cek dan jasa-jasa lain yang berkaitan dengan rekening koran tersebut.

Berdasarkan prinsip wadiah ini penerima simpanan juga dapat bertindak sebagai Yad al Amanah (tangan penerima amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal itu bukan akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan (terjadi karena faktor di luar kemampuan penerima simpanan). Penerapannya dalam perbankan dapat kita saksikan, misalnya dalam pelayanan safe deposit box.

(b) Rekening Tabungan.

Bank menerima simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali berikut kemungkinan memperoleh keuntungan berdasarkan prinsip Wadi'ah. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, namun tetapi berbeda dengan rekening koran, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.

(c) Rekening Investasi Umum

Bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi dari dana mereka dalam bentuk Rekening Investasi Umum berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12, 24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai Shahib al Maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan Nisbah tertentu. Dalam hal terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan.

(d) Rekening investasi khusus

Bank dapat juga menerima simpanan dari pemerintah atau nasabah korporasi dalam bentuk rekening simpanan khusus. Rekening ini juga dioperasikan berdasarkan prinsip mudharabah, tetapi bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungannya biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus (mudharabah muqayyadah).

2.2.3. Produk Jasa-jasa

(a) Rahn

Rahn adalah akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan uang sebagai gantinya. Akad ini dapat digunakan sebagai tambahan pada pembiayaan yang beresiko dan memerlukan jaminan tambahan. Akad ini juga dapat menjadi produk tersendiri untuk melayani kebutuhan nasabah untuk keperluan yang bersifat jasa dan konsumtif, seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang yang digadaikan tersebut.

(b) Wakalah

Wakalah adalah akad perwakilan antara dua pihak. Dalam aplikasinya pada Perbankan Syariah, Wakalah biasanya diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain.

(c) Kafalah

Kafalah adalah akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan, akad ini terlihat dalam penerbitan garansi bank (Bank Guarantee), baik dalam rangka mengikuti tender (Bid bond), pelaksanaan proyek (Performance bond), ataupun jaminan atas pembayaran lebih dulu (Advance Payment bond).

(d) Hawalah

Hawalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Prakteknya dapat dilihat pada transaksi anjak piutang (Factoring). Namun kebanyakan ulama tidak memperbolehkan mengambil manfaat (imbalan) atas pemindahan hutang/piutang tersebut.

(e) Jo'alah

Jo'alah adalah suatu kontrak dimana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas / pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah.

(f) Sharf

Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, dimana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya.

Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, dengan catatan harus memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam beberapa hadits antara lain:
- Harus tunai;
- Serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontak;
- Bila dipertukarkan mata uang yang sama harus dalam jumlah / kuantitas yang sama.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=20 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Prinsip Operasional Bank Syariah

Thursday, 06 December 2001
Tulisan Oleh Drs. Zainul Arifin, MBA (Tazkia Institute)

Sumber : Republika Online

Walaupun pemikiran konsep dasar perbankan Islam telah berjalan lama, namun konsep perbankan Islam --selanjutnya disebut perbankan Syariah-- relatif baru bagi masyarakat Indonesia, termasuk bagi masyarakat muslim sendiri. Perbankan syariah memang masih dalam tahap awal. Adalah wajar bila masih kurang dimengerti oleh masyarakat sehingga sebagian dari mereka memandang dengan harapharap cemas dan keraguan sekaligus.

Penyebabnya bukan saja karena masih terbatasnya jaringan pelayanan perbankan syraiah, tapi juga karena masih kurangnya pusat-pusat kajian perbankan syariah khususnya dan ekonomi Islam pada umumnya. Pemahaman sistem perbankan syariah tidak cukup hanya dilakukan melalui sosialisasi teknis. Latar belakang dan sejarah perkembangan pemikiran para ulama dan cendekiawan muslim sampai terwujudnya konsep sistem perbankan syariah juga perlu disosialisasikan.

Patutlah kita bersyukur bahwa saat ini UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan telah mengakomodasikan secara luas pelaksanaan sistem perbankan syariah di tengah-tengah sistem perbankan yang telah berjalan selama ini. Dengan kata lain, di bawah UU tersebut maka sistem perbankan kita telah menganut dual banking system.

Respon terhadap UU tersebut cukukp menggembirakan. Dewasa ini telah ada dua bank umum syariah (Bank Muamalat dan BSM) dan tiga bank umumkonvensional yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu Bank IFI dengan 10 kantor cabang syariah. Di samping itu beberapa bank lain sedang dalamproses persiapan pembukaan UUS seperti Bank Bukopin, Bank Danamon, Bank BRI, dan Bank Tugu.

Apakah Bank Syariah itu?

Istilah atau kata bank telah menjadi istilah umumyang banyakdipakai di masyarakat dewasa ini. Palang Merah punya bank darah, ada bank sperma dilingkungan kesehatan, lembaga-lembaga penelitian punya bank data, dan orang atau lembaga yang mengalami keruntuhan keuangan disebut bankrupt.

Tentu yang akan kita bicarakan tentang bank dalamarti suatu lembaga intermediasi keuangan yang paling penting dalam sistem perekonomian kita, yaitu suatu lembaga yang khusus menyediakan layanan finansial.

Secara etimologis, kata bank dapat kita telusuri dari kata banque dalam bahasa Prancis dan dari kata banco dalambahasa Italia, yang dapat berarti peti/lemari atau bangku. Konotasi dari kedua kata itu menjelaskan dua fungsi dasar yang ditunjukkan oleh bank komersial.

Kata peti atau lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dsb.

Dewasa ini peti-bank berarti portepel aktiva yang menghasilkan (portfolio of earning assets), yaito portfolio yang meberikan kepada bank "darah kehidupan" yang bernama laba bersih setelah pengeluaran-pengeluaran dan pajak.

Pada abad 12 kata banco di Italia merujukpada meja, counter atau tempat usaha money changer. Arti ini menyiratkan fungsi transaksi, yaitu "penukaran uang" atau dalam ari transaksi bisnis yang lebih luas yaitu "membayar barang dan jasa". Contoh transaksi semacam itu di zaman modern ini terjadi di beberapa tempat seperti counter di pasar swalayan atau counterdi restoran makana cepat (fast-food).

Jadi kesimpulannya fungsi dasar bank adalah:
1. menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman (safe keeping function).
2. menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa (transaction function).
Dewasa ini fungsi menyediakan alat pembayaran itu telah menjadi monopoli bagi bank komersial karena hanya mereka yang diberi wewenang untuk menyediakan rekening giro (cheking account).

Sebagai lembaga intermediasi, bank konvensional menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkannya kepada nasabah (unit ekonomi) lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan para nasabah itu bank memberikan imbalan berupa bunga. Demikian pula atas pemberian pinjaman itu bank mengenakan bunga kepada peminjam. Diakui bahwa peranan bank konvensional itu telah mampu memenuhi kebutuhan manusia, dan aktivitas perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada pelaksanaan kegiatan tolong-menolong dan menghindari adanya dana-dana yang menganggur (idle).

Bila masyarakat kita ditanya tentang apakah bank syariah itu,maka kebanyakan mereka hanya menyatakan bahwa bank syraiah itu adalah bank tanpa bunga. Pernyataan itu tidak salah, namun sebenarnya bank syariah bukan sekadar itu. lagi pula produk-produk bank syariah bukan merupakan produk yang aneh (exotic product), dan sebenarnya bukan hanya diperuntukkan hanya dapat diterima oleh masyarakat muslim saja.

Sistemkeuangan dan perbankan syariah adalah bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, di mana tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah mempromosikan aplikasi sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka sistem keuangan dan perbankan syariah bagi kebanyakan muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi komersial.

Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak kalangan muslim sebagai kewajiban agamis. Kemampuan lembaga keuangan Islam menarik investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan restriksi-restriksi agamis yang digariskan Islam.

sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=238 :: info redaksi@tazkiaonline.com

Perkembangan Bank Islam di Indonesia

Wednesday, 22 November 2000
Tulisan: Drs. Zainul Arifin, MBA

Gerakan lembaga keuangan Islam modern dimulai dengan didirikannya sebuah local saving bank yang beroperasi tanpa bunga di desa Mit Ghamir di tepi sungai Nil Mesir pada yahun 1969 oleh Dr. Abdul Hamid An Naggar [1]. Walaupun beberapa tahun kemudian tutup karena masalah manajemen, bank lokal ini telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.

Upaya intensif pendirian Bank Islam [2] di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).
Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada tanggal 19-22 Agustus 1990 yang kemudian diikuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasikan, maka Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat Tamwil (BMT).

Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia yaitu Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti oleh beroperasinya lembaga reksadana syariah oleh PT. Danareksa. Di tahun yang sama pula, berdiri sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.

Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sistim beroperasinya Perbankan Syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa Perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku (yang nota bene berbasis bunga/konvensional), di Indonesia. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional.

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistim perbankan nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia.

Kini jumlah Bank Umum Syariah di Indonesia telah bertambah dengan telah beroperasinya Bank IFI Cabang Syariah dan Bank Syariah Mandiri, disamping Bank Muamalat Indonesia dan 78 BPR Syariah yang telah ada.

1 Ahmad An Naggar, Muhafazah wal Mu'asaroh; Dirasah fiil Masrafiyah Laa Ribawiyah, Darul Kutub, Kairo, 1985.
2 Dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia, Bank Islam disebut sebagai Bank Syariah.


sumber www.tazkiaonline.com :: detail http://www.tazkiaonline.com/article.php3?sid=21 :: info redaksi@tazkiaonline.com